FUNGSI
UTAMA ‘ULAMA
Segala
Puji bagi Allah, kami memujiNya, memohon pertolongan dan ampunan kepada-Nya,
kami berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kami dan kejelekan
amalan-amalan kami. Siapa yang Allah beri petunjuk , maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya dan siapa yang Allah sesatkan, maka tidak ada yang dapat
memberinya petunjuk.
Aku
bersaksi bahwa tidak ada Ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah
semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah
utusan dan hamba Allah. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah Kitabullah
dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk nabi Muhammad saw., sejelek-jelek
perkara adalah yang diada-adakan, setiap perkara yang diada-adakan adalah
bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di
neraka.
Dida;am
Aqlqur’an kata ‘ulama disebut dua kali
1.
Qs. 26:197
Dan apakah tidak cukup
menjadi bukti bagi mereka, bahwa para ulama Bani Israil mengetahuinya?
|
Pengertian
Secara bahasa, kata ulama adalah
bentuk jamak dari kata ‘aalim. ‘Aalim adalah isim fail dari kata
dasar:’ilmu. Jadi ‘aalim adalah orang yang berilmu. Dan ‘ulama
adalah orang-orang yang punya ilmu. Maka tanpa melihat dari pengertian ‘u;ama secara
bahasa setiap orang yang punya ilmu adalah ‘ulama, hanya saja tingkat
keilmuannya berbeda-beda.
Pengertian umum dari kata ini
adalah orang yang memiliki kualitas 'ilm, knowledge, learning, dan science
dalam pengertian yang lebih luas dan dalam tingkatan yang tinggi. Dalam praktiknya di dalam tatanan masyarakat muslim,
istilah ulama dipakai dalam arti yang lebih sempit dan lebih khusus. Kata ulama
diartikan sebagai term general yang mencakup orang-orang yang menguasai
disiplin ilmu--ilmu agama atau mengisi fungsi praktis tertentu seperti
qadla'/ketetapan (sebagai qadli).
Historis
Munculnya Term Ulama
Kelembagaan ulama di lingkungan Islam,
sebenarnya adalah sesuatu hal yang "aneh", mengingat sebuah hadits
nabi :"Tak ada lembaga kependetaan dalam Islam". Sudah tentu lembaga
keulamaan berbeda dengan dengan lembaga kependetaan. Secara konsepsional,
lembaga kependetaan ini memang tidak ada dalam Islam, karena Islam mengajarkan
hubungan langsung setiap orang dengan Tuhan, tanpa perantara. Seorang ulama
bukanlah seorang profesional "wakil tuhan", yang diangkat dan
digaji karena itu bisa diberhentikan. Itulah kenapa pada zaman nabi lembaga
keulamaan belum ada, sekalipun banyak yang diakui masyarakat sebagai ahli agama
dan fuqaha' (ahli hukum atau hakim). Lembaga keulamaan baru timbul kemudian
sebagai hasil proses kemasyarakatan dan mereka yang di-sebut dengan kata
sandang ulama tak lain adalah ilmuan ahli tafsir, ahli hadits, dan ahli hukum,
baik yang menulis buku ataupun mengajar, tetapi yang lebih-lebih meneliti dan
mengembangkan ilmu.
Ketika Nabi masih hidup di tengah-tengah masyarakat di Madinah, ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di Madinah, tercatat sekelompok orang yang suka duduk di luar (emperan) masjid Madinah untuk menggali dan mendiskusikan pengetahuan agama yang dikenal sebagai ahl al-Shuffah. Di samping kelompok ini ada pula perse-orangan yang memperdalam spesialisasi tertentu dalam bidang ke-agamaan, seperti Ibn Abbas yang dikenal sebagai ahli tafsir. Kelompok dan sejumlah perorangan ini tampaknya yang kemudian ber-kembang dan menjadi cikal-bakal lahirnya kelompok ulama di tengah-tengah masyarakat muslim, yang baru muncul sebagai kelas tersendiri pada abad IX
Munculnya ulama sebagai kelompok tersendiri berkaitan dengan sekurang-kurangnya tiga point pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat Islam. Tiga point perkembangan dimaksud yaitu proses elaborasi dan diferensiasi beragam cabang ilmu pengetahuan agama dalam masyarakat muslim, perluasan wilayah umat Islam yang telah melampaui jazirah Arab, dan arus konversi masyarakat non--Arab kedalam agama Islam (terutama orang Persia).
Diferensiasi dan elaborasi keilmuan dalam masyarakat muslim kemudian melahirkan gelar-gelar dan sebutan-sebutan khusus bagi pakar dan ahli masing-masing cabang ilmu tersebut. Sebutan Muhaddits, Faqih, dan Mutakallimun adalah contoh term sebutan untuk Ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ilmu kalam. Perkembangan dalam wilayah kekuasaan dan arus konversi tersebut menyebabkan menguatnya urgensi hukum Islam untuk menata masyarakat baru tersebut, yang berakibat semakin intensifnya kajian-kajian dalam bidang hukum dan distribusi wewenang hukum pada sekelompok individu yang kemudian juga melahirkan term-term profesional seperti qadli, mufti, qadli al-qudhat, mujtahid, dan lain sebagainya.
Ketika Nabi masih hidup di tengah-tengah masyarakat di Madinah, ada sebagian dari warga masyarakat yang mengabdikan dirinya untuk memperdalam ilmu-ilmu agama. Di Madinah, tercatat sekelompok orang yang suka duduk di luar (emperan) masjid Madinah untuk menggali dan mendiskusikan pengetahuan agama yang dikenal sebagai ahl al-Shuffah. Di samping kelompok ini ada pula perse-orangan yang memperdalam spesialisasi tertentu dalam bidang ke-agamaan, seperti Ibn Abbas yang dikenal sebagai ahli tafsir. Kelompok dan sejumlah perorangan ini tampaknya yang kemudian ber-kembang dan menjadi cikal-bakal lahirnya kelompok ulama di tengah-tengah masyarakat muslim, yang baru muncul sebagai kelas tersendiri pada abad IX
Munculnya ulama sebagai kelompok tersendiri berkaitan dengan sekurang-kurangnya tiga point pertumbuhan dan perkembangan dalam masyarakat Islam. Tiga point perkembangan dimaksud yaitu proses elaborasi dan diferensiasi beragam cabang ilmu pengetahuan agama dalam masyarakat muslim, perluasan wilayah umat Islam yang telah melampaui jazirah Arab, dan arus konversi masyarakat non--Arab kedalam agama Islam (terutama orang Persia).
Diferensiasi dan elaborasi keilmuan dalam masyarakat muslim kemudian melahirkan gelar-gelar dan sebutan-sebutan khusus bagi pakar dan ahli masing-masing cabang ilmu tersebut. Sebutan Muhaddits, Faqih, dan Mutakallimun adalah contoh term sebutan untuk Ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ilmu kalam. Perkembangan dalam wilayah kekuasaan dan arus konversi tersebut menyebabkan menguatnya urgensi hukum Islam untuk menata masyarakat baru tersebut, yang berakibat semakin intensifnya kajian-kajian dalam bidang hukum dan distribusi wewenang hukum pada sekelompok individu yang kemudian juga melahirkan term-term profesional seperti qadli, mufti, qadli al-qudhat, mujtahid, dan lain sebagainya.
Dalam perkembangannya pembicaraan
tentang ‘ulama dengan sendirimya
diikuti pembicaraan sosok pemerintah dan masyarakat, serta Pendidikan karena
ketiga fumgsional ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain.
‘Ulama dan
Masyarakat
Sebagai orang yang berpengetahuan, ulama
tidak saja memiliki tanggungjawab ilmiah dalam pengertian kesahihan dan
validitas serta kredibilitas ilmiahnya tetapi juga tanggung-jawab moral dan
sosial. Peran dan tanggungjawab moralnya tersebut telah di tersebut difungsikan
dalam kerangka aksiomatik status-nya sebagaimana ditegaskan oleh Nabi dalam
sebuah hadits yang telah cukup dikenal Al ulama warosatul anbiya
“ulama sebagai pewaris Nabi. Karena itu, ulama adalah penjaga, penyebar, dan
penginterpretasi ajaran-ajaran, dok-trin-doktrin, dan hukum Islam, serta pemelihara
kelanjutan sejarah spiritual dan intelektual masyarakat Islam.
Kompleksitas peran ulama dalam
sektor-sektor penting masyarakat Islam dibarengi oleh legitimasi dari dasar
agama Islam---hadits--sebagai disebut di atas, maka apresiasi masyarakat dan
arti pentingnya dalam masyarakat muslim menjadi sangat tinggi. Apalagi,
melekatnya term ke-ulama-an pada seseorang, bukan melalui suatu proses formal
tetapi lewat pengakuan setelah melalui proses panjang dalam masyarakat sendiri,
dimana unsur-unsur ke-ulamaan seseorang berupa integritas kualitas keilmuan dan
kredi-bilitas kesalihan moral dan tanggung-jawab sosialnya, dibuktikan.
Keulamaan mereka tidak akan termanifestasi secara riil jika tidak dibarengi
dengan penampakan sifat-sifat pribadi yang pantas mereka miliki.
Proses berperannya ulama dalam masyarakat tersebut, membuat ulama memiliki tidak saja keabsahan teologis tetapi juga keabsahan sosial dan keberadaannya yang sangat berakar di masyarakat. Dari sini kemudian dapat dipahami jika ulama tidak sekedar diikuti pendapatnya dalam bidang keagamaan, tetapi bahkan dalam bidang-bidang sosial kemasyarakatan lainnya. Tidak jarang terjalin suatu pola hubungan antara ulama, dan masyarakat dimana ulama berfungsi sebagai penggerak (inspirator, motivator, katalisator dan dinamisator) gerakan-gerakan kemasyarakatan dan, dengan demi-kian, memiliki bargaining position yang tinggi bila dihadapkan dengan kekuasaan.
Ulama dan
Institusi Pendidikan
Sebagaimana disebutkan diatas, institutsi sosial yang paling dekat hubungannya dengan ulama adalah institusi pendidikan yang berhubungan dengan statusnya sebagai elite intelektual. Hubungan ulama dan institusi pendidikan ini hadir dalam bentuk suatu hubungan yang mutual--saling terkait dan saling membutuh-kan. Ada dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan Islam. Di satu sisi lembaga pendidikan Islam adalah merupakan sarana transmisi keilmuan bagi ilmu yang dimiliki oleh ulama; sementara di sisi lain, institusi-institutsi formal atau tidak formal dari pendidikan, adalah sarana pembentukan dan pengkaderan ulama.
Dalam hubungannya dengan institusi pendidikan, ulama terlibat sebagai fungsionaris yang mempunyai peran sentral. Peranan tersebut terlihat dalam setiap tahap perkembangan institusi pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya seperti majlis, halaqah, maktab, kuttab, jami,' madrasah, zawiyyah, dan ribath.
Dalam menjelaskan tahap perkembangan madrasah sebagai salah satu tahap dalam perkembangan instusi pendidikan Islam, Pedersen dan Makdisi menyebutkan bahwa madrasah adalah merupakan kelanjutan proses dari perkembangan sebelumnya yaitu Masjid, masjid Khan complex, dan baru kemudian Madrasah. 8 Dari uraian Pedersen dan Makdisi tentang masing-masing tahapan tersebut, terlihat bahwa pola hubungan ulama--dalam perannya sebagai pengajar--dan insti-tusi pendidikan Islam dalam tiap tahap perkembangan, mengambil bentuk yang beragam.
Masjid adalah lembaga pendidikan sebagai lembaga yang pertama kali muncul adalah tidak formal dan independen. Fungsi masjid sebagai sarana pengajaran telah dikenal sejak jaman Nabi. Sebagai pemegang otoritas penafsir ayat al-Qur'an, seringkali di dalam masjid bahkan juga di luar masjid, Nabi ditanya tentang berbagai persoalan menyangkut aqidah dan akhlak. Nabi kemudian memberi penjelasan dihadapan para pedengar yang membentuk lingkaran di hadapannya (halaqah). Tradisi ini kemudian dilanjutkan pada masa sahabat dengan tambahan hadits sebagai materi, dimana kemudian pada masa ini sebutan ahl 'ilmi banyak dikaitkan dengan orang yang hapal banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi--materi pengajaran telah mulai bervariasi, mulai dari fiqh, bahasa sampai syair-syair Arab.
Perkembangan berikutnya dari masjid adalah perkembangan munculnya khan (pondokan) di seputar masjid untuk menampung para penuntut ilmu yang mulai datang dari daerah yang jauh. Perkemba-ngan ini oleh Pedersen dan Makdisi disebut sebagai Masjid-Khan Complex. Contoh lembaga ini adalah jaringan ekstensif Masjid Khan yang ada di wilayah kekuasaan Hasanawayh (wafat 405 H/1014 M) se-orang gubernur dari kerajaan Buwaihi sejak abad IV H. 10
Perkembangan ini tidak begitu berbeda dengan masjid, karena bagaimanapun tempat yang digunakan sebagai pusat interaksi ke-ilmuan tetap masjid,kecuali pemfokusan materi pelajaran pada fiqh sesuai dengan kemapanan dan cepat berkembangnya fiqh pada saat itu. Sungguhpun demikian, perkembangan ini tetap fenomenal, karena dari sistem ini kemudian tumbuh madrasah, setelah fungsi masjid hanya dikembalikan menjadi tempat ibadah dan pusat interaksi belajar dipindahkan ke ruang-ruang yang berada di sekitar masjid.
Masjid, dalam peranannya sebagai pusat pengajaran dan pendidikan, senantiasa terbuka lebar, dan didatangi oleh orang orang yang merasa dirinya mampu untuk memberikan pelajaran pada masyarakat. Ulama datang ke masjid dengan inisiatif sendiri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat. Rakyat yang berminat kemudian mengambil tempat duduk melingkar, sebagai-mana telah dipraktikkan sejak masa Nabi. Di Masjid, ulama memainkan suatu peranan tidak formal dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada masyarakat. Ikatan yang terjalin antara ulama sebagai pengajar dan muridnya lebih didasarkan kepada ke-terikatan moral dalam hubungan yang 'sakral'. Umat Islam meng-ambil ilmu dari guru-guru tersebut berdasarkan suatu kesadaran.
Hal ini berbeda dengan madrasah. Berdirinya madrasah biasa-nya dikaitkan dengan figur seorang ulama. Madrasah biasanya di-dirikan dan diwakafkan oleh penyandang dana (waqif; penguasa atau orang kaya) dengan suatu maksud tertentu, misalnya untuk kepentingan mempertahankan madzhab, dan pelaksanaannya operasionalnya diserahkan kepada seorang ulama yang dipercaya dapat mengemban realisasi tujuan tersebut.
Sebagaimana disebutkan diatas, institutsi sosial yang paling dekat hubungannya dengan ulama adalah institusi pendidikan yang berhubungan dengan statusnya sebagai elite intelektual. Hubungan ulama dan institusi pendidikan ini hadir dalam bentuk suatu hubungan yang mutual--saling terkait dan saling membutuh-kan. Ada dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan Islam. Di satu sisi lembaga pendidikan Islam adalah merupakan sarana transmisi keilmuan bagi ilmu yang dimiliki oleh ulama; sementara di sisi lain, institusi-institutsi formal atau tidak formal dari pendidikan, adalah sarana pembentukan dan pengkaderan ulama.
Dalam hubungannya dengan institusi pendidikan, ulama terlibat sebagai fungsionaris yang mempunyai peran sentral. Peranan tersebut terlihat dalam setiap tahap perkembangan institusi pendidikan Islam dalam berbagai bentuknya seperti majlis, halaqah, maktab, kuttab, jami,' madrasah, zawiyyah, dan ribath.
Dalam menjelaskan tahap perkembangan madrasah sebagai salah satu tahap dalam perkembangan instusi pendidikan Islam, Pedersen dan Makdisi menyebutkan bahwa madrasah adalah merupakan kelanjutan proses dari perkembangan sebelumnya yaitu Masjid, masjid Khan complex, dan baru kemudian Madrasah. 8 Dari uraian Pedersen dan Makdisi tentang masing-masing tahapan tersebut, terlihat bahwa pola hubungan ulama--dalam perannya sebagai pengajar--dan insti-tusi pendidikan Islam dalam tiap tahap perkembangan, mengambil bentuk yang beragam.
Masjid adalah lembaga pendidikan sebagai lembaga yang pertama kali muncul adalah tidak formal dan independen. Fungsi masjid sebagai sarana pengajaran telah dikenal sejak jaman Nabi. Sebagai pemegang otoritas penafsir ayat al-Qur'an, seringkali di dalam masjid bahkan juga di luar masjid, Nabi ditanya tentang berbagai persoalan menyangkut aqidah dan akhlak. Nabi kemudian memberi penjelasan dihadapan para pedengar yang membentuk lingkaran di hadapannya (halaqah). Tradisi ini kemudian dilanjutkan pada masa sahabat dengan tambahan hadits sebagai materi, dimana kemudian pada masa ini sebutan ahl 'ilmi banyak dikaitkan dengan orang yang hapal banyak hadits. Pada masa selanjutnya, materi--materi pengajaran telah mulai bervariasi, mulai dari fiqh, bahasa sampai syair-syair Arab.
Perkembangan berikutnya dari masjid adalah perkembangan munculnya khan (pondokan) di seputar masjid untuk menampung para penuntut ilmu yang mulai datang dari daerah yang jauh. Perkemba-ngan ini oleh Pedersen dan Makdisi disebut sebagai Masjid-Khan Complex. Contoh lembaga ini adalah jaringan ekstensif Masjid Khan yang ada di wilayah kekuasaan Hasanawayh (wafat 405 H/1014 M) se-orang gubernur dari kerajaan Buwaihi sejak abad IV H. 10
Perkembangan ini tidak begitu berbeda dengan masjid, karena bagaimanapun tempat yang digunakan sebagai pusat interaksi ke-ilmuan tetap masjid,kecuali pemfokusan materi pelajaran pada fiqh sesuai dengan kemapanan dan cepat berkembangnya fiqh pada saat itu. Sungguhpun demikian, perkembangan ini tetap fenomenal, karena dari sistem ini kemudian tumbuh madrasah, setelah fungsi masjid hanya dikembalikan menjadi tempat ibadah dan pusat interaksi belajar dipindahkan ke ruang-ruang yang berada di sekitar masjid.
Masjid, dalam peranannya sebagai pusat pengajaran dan pendidikan, senantiasa terbuka lebar, dan didatangi oleh orang orang yang merasa dirinya mampu untuk memberikan pelajaran pada masyarakat. Ulama datang ke masjid dengan inisiatif sendiri untuk mengajarkan ilmu-ilmu yang dimilikinya kepada masyarakat. Rakyat yang berminat kemudian mengambil tempat duduk melingkar, sebagai-mana telah dipraktikkan sejak masa Nabi. Di Masjid, ulama memainkan suatu peranan tidak formal dalam memberikan pengajaran dan pendidikan kepada masyarakat. Ikatan yang terjalin antara ulama sebagai pengajar dan muridnya lebih didasarkan kepada ke-terikatan moral dalam hubungan yang 'sakral'. Umat Islam meng-ambil ilmu dari guru-guru tersebut berdasarkan suatu kesadaran.
Hal ini berbeda dengan madrasah. Berdirinya madrasah biasa-nya dikaitkan dengan figur seorang ulama. Madrasah biasanya di-dirikan dan diwakafkan oleh penyandang dana (waqif; penguasa atau orang kaya) dengan suatu maksud tertentu, misalnya untuk kepentingan mempertahankan madzhab, dan pelaksanaannya operasionalnya diserahkan kepada seorang ulama yang dipercaya dapat mengemban realisasi tujuan tersebut.
Dari uraian di atas, kita dapat melihat dua pola hubungan ulama dan institusi pendidikan. Pada masjid dan lembaga-lembaga lain sebelum madrasah, hubungan ulama dengan institusi pendidikan berada dalam suatu pola yang tidak formal, penuh inisiatif dan mandiri. Sementara pada madrasah, sebaliknya; yaitu formal, terkendali dan cenderung mengambil sikap responsif terhadap inisia-tif yang muncul dari pemberi wakaf madrasah.
Hubungan Ulama
dan Kekuasaan
Pada awal sejarahnya, masyarakat Islam tidak mengenal pemisahan antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi maupun pada masa khulafa' Rasyidun kewenangan agama dan kewenangan negara masih dipegang oleh satu orang khalifah. Baru kemudian pada perkembangannya, ketika wilayah kekuasaan Islam te-lah berkembang semakin meluas, maka mulai terjadi diferensiasi pemegang kedua otoritas tersebut. Ulama kemudian bukan saja ter-pisah dari khalifah, tetapi juga kadang tampil sebagai sosok pe-ngontrol kekuasaan dan penjaga hati nurani umat, dan tidak jarang pula, pada kasus-kasus paling ekstrim, membuat hadirnya suatu kelompok oposisi, bila melihat praktik-praktik khalifah yang dipandang menyimpang. Ini bersamaan dengan kemerosotan kekuasaan politik khalifah karena perebutan kekuasaan dan penyimpangan-penyimpangan, serta terjadi pergeseran pola kekuasaan yang bersumbu pada ikatan keagamaan menjadi ikatan kesukuan.
Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa ulama kemudian kerap mengambil posisi sebagai kontrol moral--dan juga kontrol sosial--terhadap penguasa. Dalam hubungan langsungnya dengan ke-kuasaan, ulama cenderung lebih bersikap reaktif dan pasif dari-pada bersikap aktif dan "ofensif". Karena itu dapat dipahami jika:
sejarah Islam memperlihatkan bahwa kebanyakan ulama, karena alasan-alasan doktriner dan teologis, enggan menerjemahkan kekuasaan mereka secara langsung ke dalam bidang politik. Kekuatan dan pengaruh mereka lazimnya cenderung diekspresikan secara politik dan intelektual dalam bentuk keteguhan kewaspadaan untuk melihat bahwa penguasa dan masyarakat bertindak sesuai dengan pemahaman atau interpretasi mereka tentang Islam.
Namun demikian, dari uraian di atas, tidak dapat dipahami bahwa ulama selalu mengambil posisi berseberangan dengan penguasa, walau tidak bisa dibalik; selalu mengambil posisi seiring dengan nya.
Sebagaimana ditulis diatas, Istilah ulama dalam sejarah Islam adalah term umum yang mencakup orang-orang yang menguasai disiplin ilmu-ilmu agama atau mengisi fungsi praktis. Karenanya, penyebutan ulama selalu berhubungan dengan sebutan lain yang se makna seperti Akhund, Ayatullah, Faqih Hujjat al-Islam, Marja'i taqlid, Mawlana, Mufti, Mujtahid, Mulla Qadli, Syaikh, Syaikh al Islam, dan Wa'idz. Sebutan-sebutan ini adalah refleksi kemampuan ilmiah para ulama atau simbol fungsional kemasyarakatannya di-kaitkan dengan ilmu yang dikuasainya. Faqih adalah refleksi kapasitas intelektual ulama dalam bidang fiqh, dan Qadli adalah sim-bol fungsional seorang ulama dalam kaitannya sebagai pemutus ma-salah dan pelaksana penerapan syariat di masyarakat.
Ulama yang bekerjasama dengan penguasa, dapat kita lihat pada kasus pendirian lembaga pendidikan madrasah yang didirikan oleh penguasa semacam madrasah yang didirikan oleh Bani Fatimiah di Kairo dan penunjukan qadli saat pergantian dinasti Safariah ke dinasti Samaniah di tahun 899 M.
Sedang untuk ulama yang tampil sebagai opsisi, dapat dilihat pada kasus Ahmad bin Hanbal. Ia menjadi simbol protes terhadap pemaksaan ideologi oleh penguasa. Sebagaimana diketahui ia adalah korban mihnah yang dipraktikkan oleh penguasa Abbasiyah. Karena ia memandang bahwa yang dipaksakan oleh penguasa tidak sesuai dengan pandangannya yang berpegang pada ortodoksi Islam, ia kemudian bangkit menentang dan melancarkan kritik-kritiknya terhadap penguasa. Ia kemudian memang dipenjarakan, tetapi setelah mihnah berlalu, aliran Mu'tazilah diberangus dan kemudian seperti lenyap ditelan bumi. Dan juga Abu Hanifah pernah ditawarkan oleh khalifah Abu Ja’far Al-Manshur untuk menduduki jabatan hakim agung. Namun Abu Hanifah bersikeras menolak jabatan tersebut. Tak ayal, penolakan ini membuat khalifah marah dan berujung pada penjara. Abu Hanifah mendekam dalam penjara hingga ajal menjemputnya (Ensiklopedi Islam, 1997: 157).
E. Kesimpulan
Dari uraian pada halaman-halaman terdahulu, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa :
a. Lahirnya ulama sebagai suatu kelompok tersendiri yang memiliki akar di masyarakat
Pada awal sejarahnya, masyarakat Islam tidak mengenal pemisahan antara kewajiban keagamaan dan kewajiban kenegaraan. Pada masa Nabi maupun pada masa khulafa' Rasyidun kewenangan agama dan kewenangan negara masih dipegang oleh satu orang khalifah. Baru kemudian pada perkembangannya, ketika wilayah kekuasaan Islam te-lah berkembang semakin meluas, maka mulai terjadi diferensiasi pemegang kedua otoritas tersebut. Ulama kemudian bukan saja ter-pisah dari khalifah, tetapi juga kadang tampil sebagai sosok pe-ngontrol kekuasaan dan penjaga hati nurani umat, dan tidak jarang pula, pada kasus-kasus paling ekstrim, membuat hadirnya suatu kelompok oposisi, bila melihat praktik-praktik khalifah yang dipandang menyimpang. Ini bersamaan dengan kemerosotan kekuasaan politik khalifah karena perebutan kekuasaan dan penyimpangan-penyimpangan, serta terjadi pergeseran pola kekuasaan yang bersumbu pada ikatan keagamaan menjadi ikatan kesukuan.
Dari uraian di atas, dapat kita katakan bahwa ulama kemudian kerap mengambil posisi sebagai kontrol moral--dan juga kontrol sosial--terhadap penguasa. Dalam hubungan langsungnya dengan ke-kuasaan, ulama cenderung lebih bersikap reaktif dan pasif dari-pada bersikap aktif dan "ofensif". Karena itu dapat dipahami jika:
sejarah Islam memperlihatkan bahwa kebanyakan ulama, karena alasan-alasan doktriner dan teologis, enggan menerjemahkan kekuasaan mereka secara langsung ke dalam bidang politik. Kekuatan dan pengaruh mereka lazimnya cenderung diekspresikan secara politik dan intelektual dalam bentuk keteguhan kewaspadaan untuk melihat bahwa penguasa dan masyarakat bertindak sesuai dengan pemahaman atau interpretasi mereka tentang Islam.
Namun demikian, dari uraian di atas, tidak dapat dipahami bahwa ulama selalu mengambil posisi berseberangan dengan penguasa, walau tidak bisa dibalik; selalu mengambil posisi seiring dengan nya.
Sebagaimana ditulis diatas, Istilah ulama dalam sejarah Islam adalah term umum yang mencakup orang-orang yang menguasai disiplin ilmu-ilmu agama atau mengisi fungsi praktis. Karenanya, penyebutan ulama selalu berhubungan dengan sebutan lain yang se makna seperti Akhund, Ayatullah, Faqih Hujjat al-Islam, Marja'i taqlid, Mawlana, Mufti, Mujtahid, Mulla Qadli, Syaikh, Syaikh al Islam, dan Wa'idz. Sebutan-sebutan ini adalah refleksi kemampuan ilmiah para ulama atau simbol fungsional kemasyarakatannya di-kaitkan dengan ilmu yang dikuasainya. Faqih adalah refleksi kapasitas intelektual ulama dalam bidang fiqh, dan Qadli adalah sim-bol fungsional seorang ulama dalam kaitannya sebagai pemutus ma-salah dan pelaksana penerapan syariat di masyarakat.
Ulama yang bekerjasama dengan penguasa, dapat kita lihat pada kasus pendirian lembaga pendidikan madrasah yang didirikan oleh penguasa semacam madrasah yang didirikan oleh Bani Fatimiah di Kairo dan penunjukan qadli saat pergantian dinasti Safariah ke dinasti Samaniah di tahun 899 M.
Sedang untuk ulama yang tampil sebagai opsisi, dapat dilihat pada kasus Ahmad bin Hanbal. Ia menjadi simbol protes terhadap pemaksaan ideologi oleh penguasa. Sebagaimana diketahui ia adalah korban mihnah yang dipraktikkan oleh penguasa Abbasiyah. Karena ia memandang bahwa yang dipaksakan oleh penguasa tidak sesuai dengan pandangannya yang berpegang pada ortodoksi Islam, ia kemudian bangkit menentang dan melancarkan kritik-kritiknya terhadap penguasa. Ia kemudian memang dipenjarakan, tetapi setelah mihnah berlalu, aliran Mu'tazilah diberangus dan kemudian seperti lenyap ditelan bumi. Dan juga Abu Hanifah pernah ditawarkan oleh khalifah Abu Ja’far Al-Manshur untuk menduduki jabatan hakim agung. Namun Abu Hanifah bersikeras menolak jabatan tersebut. Tak ayal, penolakan ini membuat khalifah marah dan berujung pada penjara. Abu Hanifah mendekam dalam penjara hingga ajal menjemputnya (Ensiklopedi Islam, 1997: 157).
E. Kesimpulan
Dari uraian pada halaman-halaman terdahulu, dapat penulis ambil kesimpulan bahwa :
a. Lahirnya ulama sebagai suatu kelompok tersendiri yang memiliki akar di masyarakat
muslim adalah
seiring dengan pertumbuhan masyarakat dan elaborasi ilmu-agama.
b. Ulama pada lembaga-lembaga selain Madrasah pada dasarnya menampakkan pola hubungan yang tidak formal dan berdasar inisiatif sendiri, berbeda dengan pada Madrasah, terlebih pada madrasah yang didirikan oleh penguasa, hubungan ini cenderung formal dan ulama tidak memegang kunci inisiatif.
c. Ulama ada kalanya mau bekerjasama dengan penguasa, ada kalanya menjaga jarak, dan adakalanya mengambil sikap sebagai oposisi penguasa.
b. Ulama pada lembaga-lembaga selain Madrasah pada dasarnya menampakkan pola hubungan yang tidak formal dan berdasar inisiatif sendiri, berbeda dengan pada Madrasah, terlebih pada madrasah yang didirikan oleh penguasa, hubungan ini cenderung formal dan ulama tidak memegang kunci inisiatif.
c. Ulama ada kalanya mau bekerjasama dengan penguasa, ada kalanya menjaga jarak, dan adakalanya mengambil sikap sebagai oposisi penguasa.
Wallohu ‘Alam
Arpin.
-Sumber
internet Copyright 2005 :abdul hamid wahid dan
-Copyright
2005 - © Center For Moderate Muslim Indonesia

Tidak ada komentar:
Posting Komentar