CETAK SPANDUK _ FREE DESIGN
Nyetak spanduk tidak perlu keluar rumah,
anda cuma perlu mengkonsep desain dan kirim
via WhatsApp kepada kami, selanjutnya kami aproof
dan akami antar sepanduk anda ...
Rabu, 06 September 2017
Senin, 04 September 2017
Islam Bukan Prasmanan
ISLAM BUKAN AGAMA PRASMANAN
Oleh:
Abdullah Zaen, Lc., MA
Prasmanan, adalah sebuah istilah yang
tidak asing di telinga kebanyakan kita. Yakni cara menjamu makan dengan
mempersilakan tamu mengambil dan memilih sendiri hidangan yang sudah ditata
secara menarik di beberapa meja. Mana yang ia suka; ia ambil. Sebaliknya yang
tidak ia suka; ia tinggalkan. Model penyajian makanan seperti ini banyak
ditemukan dalam resepsi pernikahan dan yang semisal.
Prasmanan dalam pandangan Islam
boleh-boleh saja. Tentu selama yang disajikan adalah makanan dan minuman yang
halal, serta tidak berlebih-lebihan.
Lantas mengapa artikel ini berjudulkan,
“Islam bukan agama prasmanan”?. Jawabannya karena sebagian kaum muslimin
menyikapi ajaran Islam seperti prasmanan. Alias, mana ajaran yang ia suka; ia
pakai. Adapun ajaran yang tidak ia sukai; maka ia tinggalkan.
Pola prasmanan dalam beragama seperti
ini tidak bisa diterima dalam Islam.
Allah ta’ala menegaskan,
Artinya: “Apakah kalian mengimani sebagian isi Kitab lalu ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat
demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada
hari kiamat kelak mereka akan dimasukkan ke dalam azab neraka yang sangat
pedih. Allah sama sekali tidak lengah mencatat semua perbuatan kalian.” QS.
Al-Baqarah (2): 85.
Islam adalah pedoman hidup yang
lengkap dan sempurna. Allah ta’alamengaruniakannya
kepada kita, untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Oleh karena itu, maka kita
harus menerima dan berusaha mengamalkan seluruh ajaran Islam. Tidak boleh kita
ambil setengah-setengah. Dalam arti salah satu ajarannya kita amalkan,
sementara ajarannya yang lain kita tolak.
Banyak orang ketika shalat
menggunakan tata cara Islam, tapi sayang ketika berbisnis ia tidak mau diatur
oleh Islam. Ada yang dalam berhaji memakai fikih Islam, namun saat berideologi
dan berkeyakinan, ia memilih untuk mengadopsi akidah agama lain.
Ada juga yang saat berpuasa konsisten
dengan tata cara Islam; tidak makan, tidak minum dan tidak berdusta. Tapi saat
berpolitik ia tak mau berpegang teguh dengan ajaran Islam, sehingga
menghalalkan segala cara. Berdusta dengan topeng pencitraan, memfitnah,
menyuap, melakukan money politic, bermain
culas dan berkorupsi. Amat disayangkan, banyak yang punya anggapan, “Ini adalah
masalah politik, bukan urusan agama”. Seakan-akan kalau berpolitik lalu boleh
menghalalkan segala cara.
Padahal sesungguhnya Islam,
sebagaimana mengatur tata cara shalat dan puasa, Islam juga mengatur tentang
etika berbisnis dan mengatur urusan negara. Islam sebagaimana mengatur tentang
keimanan dan ibadah, juga mengatur tentang hukum dan tata cara berbusana.
Pendek kata, Islam itu mengatur manusia dari bangun tidur hingga tidur lagi,
bahkan ketika tidur. Mengatur manusia dari lahir hingga menguburnya saat mati.
Islam mengatur mulai dari masuk kamar mandi hingga mengatur bangsa dan negara, bahkan
dunia.
Beragama secara parsialitas, itu
adalah salah satu trik setan dalam menyesatkan bani Adam. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
Artinya: “Wahai
orang-orang yang beriman, masuk Islamlah kalian secara kâffah (totalitas), dan
janganlah kalian mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh
yang nyata bagi kalian”. QS. Al-Baqarah (2): 208.
Mari kita tinggalkan pola prasmanan
dalam beragama! Sebab Islam bukan agama prasmanan…
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwulu
Selasa, 29 Agustus 2017
KHUTBAH IDUL ADHA
Berguru Kepada Nabi Ibrahim dan
Keluarganya
Oleh: Abdullah Zaen, Lc, MA
Khutbah Idhul Adha di Alun-alun Banyumas,Ahad, 10 Dzulhijjah
1435 /5 Oktober 2014
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.
الحَمْدُ للهِ رَبِّ
الْعَالَمِيْنَ رَبِّ الأَرَضِيْنَ وَالسَّمَاوَات، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي
بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَات، وَبِعَفْوِهِ تُغْفَرُ الذُّنُوْبُ وَالسَّيِّئَات،
وَبِكَرَمِهِ تُقبَلُ الْعَطَايَا وَالْقُرُبَات، وَبِلُطْفِهِ تُسْتَرُ
العُيُوْبُ وَالزَّلاَّت، الْحَمْدُ للهِ الَّذِي أَمَاتَ وَأَحْيَا، وَمَنَعَ
وَأَعْطَى، وَأَرْشَدَ وَهَدَى، وَأَضْحَكَ وَأَبْكَى؛ ﴿ وَقُلِ الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِي لَمْ يَتَّخِذْ وَلَدًا وَلَمْ يَكُنْ لَهُ شَرِيكٌ فِي الْمُلْكِ وَلَمْ
يَكُنْ لَهُ وَلِيٌّ مِنَ الذُّلِّ وَكَبِّرْهُ تَكْبِيرًا ﴾ (الإسراء: 111)
اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا
ذَكَرَ اللهَ ذَاكِرٌ وَكَبَّرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا حَمِدَ اللهَ حَامِدٌ
وَشَكَرَ، اللهُ أَكْبَرُ عَدَدَ مَا تَابَ تَائِبٌ وَاسْتَغْفَرَ، اللهُ أَكْبَرُ
مَا أَعَادَ عَلَيْنَا مِنْ عَوَائِدِ فَضْلِهِ وَجُوْدِهِ مَا يَعُوْدُ فِي كُلِّ
عِيْدٍ وَيَظْهَر.
وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلهَ
إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ شَهَادَةً أَدَّخِرُهَا لِيَوْمٍ كَانَ
شَرُّهُ مُسْتَطِيْراً، سُبْحَانَ مَنْ لَمْ يَزَلْ عَلِيًّا كَبِيْرًا، سَمِيْعاً
بَصِيْراً، لَطِيْفاً خَبِيْراً، عَفُوًّا غَفُوْرًا.
وَأَشْهَدُ أَنَّ نَبِيَّنَا
وَحَبِيْبَنَا مُحَمَّداُ عَبْدُ اللهِ وَرَسُوْلُهُ بَعَثَهُ باِلْهُدَى وَدِيْنِ
الْحَقِّ بَشِيْراً وَنَذِيْراً وَدَاعِياً إِلَى اللهِ بِإِذْنِهِ وَسِرَاجًا
مُنِيْرًا، اللّهُمَّ صَلِّ عَلىَ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ وَخَلِيْلِكَ مُحَمَّدٍ
بْنِ عَبْدِ الله، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَن اقْتَفَى أَثَرَهُ إِلَى يَوْمِ
الْقِيَامَة.
أَمَّا بَعْدُ؛
Jamaah Shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah…
Di pagi yang penuh berkah ini, di
balik hati yang cerah ceria, kita kembali mengumandangkan takbir
berulang-ulang, sebagai pernyataan yang tulus dan ikhlas akan kebesaran dan
keagungan Allah subhanahu wa ta’ala. Sekaligus
sebagai pengakuan bahwa kita adalah hamba yang teramat kecil, sangat lemah dan
penuh keterbatasan. Kita memuja dan memuji kepada-Nya sebagai wujud kesyukuran
atas segala limpahan nikmat dan rahmat-Nya yang tak terhingga.
Alhamdulillah, kita kembali merasakan kegembiraan dan kebahagiaan dalam
suasana Idul Adha pada hari ini. Bukan untuk berpesta pora, tetapi untuk
melakukan instrospeksi dan mengambil pelajaran dari perintah berkurban dan
beribadah haji. Juga untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah yang
dilakonkan oleh Nabiyullah Ibrahim ’alaihissalambersama
isterinya; Hajar dan anaknya Ismail ’alaihissalam.
Kehidupan Nabi Ibrahim benar-benar
sarat dengan keteladanan yang patut diikuti, untuk mendapatkan kehidupan yang
bersih dan penuh dengan makna.
“قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ
وَالَّذِينَ مَعَهُ”
Artinya: “Sungguh telah
ada suri teladan yang baik bagi kalian pada Ibrahim dan orang-orang yang
bersamanya”. QS. Al-Mumtahanah (60): 4.
Jamaah shalat Idul Adha ‘azzakumullah...
Sekurang-kurangnya ada empat
pelajaran yang bisa dipetik dari kisah nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan keluarganya[1]:
§ Pelajaran Pertama: Berbaik
sangka kepada Allah ta’ala
Dikisahkan pada suatu hari,
Ibrahim ‘alaihissalam terbangun dari tidurnya. Tiba-tiba
beliau memerintahkan istrinya, Hajar, untuk mempersiapkan perjalanan dengan
membawa bayinya. Perempuan itu segera berkemas untuk melakukan perjalanan
panjang. Padahal saat itu nabi Ismail masih bayi dan belum disapih.
Ibrahim ‘alaihissalam menyusuri bumi yang penuh dengan
pepohonan dan rerumputan, sampai akhirnya tiba di padang sahara. Beliau terus
berjalan hingga mencapai pegunungan, kemudian masuk ke daerah jazirah Arab.
Ibrahim menuju ke sebuah lembah yang tidak ditumbuhi tanaman, tidak ada
buah-buahan, tidak ada pepohonan, tidak ada makanan dan tidak ada minuman.
Kondisi yang menandakan bahwa tempat itu tidak ada kehidupan di dalamnya.
Di lembah tersebut beliau turun dari
punggung hewan tunggangannya, kemudian menurunkan istri dan anaknya. Setelah
itu tanpa berkata-kata beliau meninggalkan istri dan anaknya di sana. Mereka
berdua hanya dibekali sekantung makanan dan sedikit air yang tidak cukup untuk
dua hari. Setelah melihat kiri dan kanan beliau melangkah meninggalkan tempat
itu.
Tentu saja Hajar terperangah
diperlakukan demikian. Dia membuntuti suaminya dari belakang sembari bertanya,
“يَا إِبْرَاهِيْمَ أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهذَا الْوَادِي
الَّذِى لَيْسَ بِهِ أَنِيْسٌوَلاَ شَيْئٌ ؟”
“Ibrahim, hendak pergi ke
manakah engkau? Apakah engkau akan meninggalkan kami tanpa teman di lembah yang
tidak ada sesuatu apapun ini?”.
Ibrahim tidak menjawab pertanyaan
istrinya. Beliau terus saja berjalan. Hajar kembali mengulangi pertanyaannya,
tetapi Ibrahim tetap membisu. Akhirnya Hajar paham bahwa suaminya pergi bukan
karena kemauannya sendiri. Dia mengerti bahwa Allah memerintahkan suaminya
untuk pergi. Maka kemudian dia pun bertanya,
“آللهُ أَمَرَكَ بِهذَا ؟”
“Apakah Allah yang memerintahkanmu
untuk pergi meninggalkan kami?”
Ibrahim menjawab, “Benar“.
Kemudian istri yang shalihah dan
beriman itu berkata,
“إِذًا لَا يُضَيِّعُنَا اللهُ!”
”Jika demikian pasti Allah tidak akan
menterlantarkan kami”.
Allahu Akbar 3X Walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.
Lihatlah, bagaimana nabi Ibrahim dan
Hajar, mampu berprasangka baik kepada Allah jalla wa ‘ala. Mereka
amat yakin bahwa selagi bersama Allah, maka mereka tidak mungkin terlantar, tidak
akan ada yang dapat mencelakainya ataupun melukainya.
Bila kita lihat banyaknya manusia
yang frustasi dalam kehidupan ini atau banyaknya manusia sengsara,
ternyata bukan karena sedikitnya nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Akan
tetapi karena sedikitnya husnudzon (berbaik
sangka) kepada kebaikan Allah. Padahal nikmat yang Allah berikan jauh lebih
banyak dari siksa-Nya. Oleh karena itu kita harus berbaik sangka kepada Allah;
karena Allah menjelaskan dalam sebuah hadits qudsi, bahwa Dia sesuai prasangka
hamba-Nya.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: يَقُولُ اللهُ تَعَالَى: “أَنَا
عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي، وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي، فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي
نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي، وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي
مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ شِبْرًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ
ذِرَاعًا، وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا، وَإِنْ
أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً”
Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu berkata, bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda, Allah
berfirman, “Aku tergantung pada prasangka hamba-Ku
kepada-Ku, dan Aku bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku dalam
jiwanya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku. Dan jika ia mengingat-Ku di
keramaian orang, niscaya Aku akan mengingat-Nya di hadapan sekumpulan makhluk
yang lebih mulia dari mereka. Andaikan ia mendekat kepada-ku setapak, maka Aku
akan mendekat kepadanya sehasta. Bila ia mendekat kepada-ku sehasta, maka Aku
akan mendekat kepadanya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dengan berjalan, maka
Aku akan menghampirinya dengan berlari”. HR. Bukhari dan
Muslim.
Manusia wajib berbaik sangka kepada
Allah apa pun keadaannya. Karena Allah akan menyikapi hamba-Nya sesuai
prasangka tersebut. Jika hamba itu berprasangka baik, maka Allah akan
memberikan keputusan yang baik untuknya. Namun bila hamba itu berburuk sangka,
maka berarti ia telah menghendaki keputusan yang buruk dari Allah untuknya.
Allah tidak akan menyia-nyiakan harapan hamba-Nya yang senantiasa berbaik
sangka kepada-Nya.
Seorang hamba yang bijak adalah yang
senantiasa berbaik sangka kepada Allah dalam setiap keadaan. Jika ia diberi
kenikmatan, ia merasa bahwa hal ini adalah karunia dari Allah. Ia tidak
besar kepala dengan kenikmatan duniawi tersebut. Sebaliknya bila ia
didera dengan penderitaan atau kekurangan, maka ia merasa bahwa Allah
sedang mengujinya agar dapat meraih tempat yang mulia. Ia tidak berburuk
sangka dengan menganggap Allah tidak adil atau Allah telah menghinakannya.
Kita harus belajar dari Hajar.
Seorang wanita yang baru mempunyai anak bayi, kemudian ditinggalkan suaminya di
padang pasir yang gersang. Tetapi dia yakin jika ini adalah perintah Allah,
maka Allah tidak akan menterlantarkannya. Allah pasti akan membantunya. Kisah
ini bukan hanya untuk Hajar saja, dan kisah ini juga bukan untuk zaman itu
saja. Namun kisah ini akan terus berulang pada setiap zaman dan masa. Bahwa
Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan menyia-nyiakan
hamba-Nya yang senantiasa berbaik sangka kepada-Nya dalam segala kondisi.
Yakinlah bahwa orang-orang yang tekun
beribadah kepada Allah, berakidah benar, menegakkan shalat, berpuasa,
menunaikan zakat dan menjalankan perintah agama lainnya, pasti mereka tidak
akan pernah diterlantarkan oleh Allah ta’ala…
Allahu Akbar 2x, walillahilhamdu.
§ Pelajaran kedua: Bersemangat dalam
mencari rezeki yang halal
Setelah Ibrahim ‘alaihissalam meninggalkan istri dan anaknya,
untuk kembali meneruskan perjuangan berdakwah di jalan Allah. Hajar menyusui
Ismail, sementara dia sendiri mulai merasa kehausan. Panas terik matahari saat
itu amat menyengat, hingga terasa begitu mengeringkan kerongkongan. Setelah dua
hari, air yang dibawa habis, air susunya pun kering. Hajar dan Ismail mulai
kehausan. Pada waktu yang bersamaan, makanan pun habis. Kegelisahan dan
kekhawatiran menghantui Hajar.
Ismail mulai menangis karena
kehausan. Sang ibu pun meninggalkannya sendirian untuk mencari air. Dengan
berlari–lari kecil dia sampai di kaki bukit Shafa. Kemudian mendaki bukit itu.
Diletakkannya kedua telapak tangan di kening untuk melindungi pandangan matanya
dari terik sinar matahari. Dia menengok kesana kemari, mencari sumur, manusia,
kafilah atau berita. Namun tidak ada sesuatu pun yang tertangkap pandangan
matanya. Maka dia bergegas turun dari bukit Shafa dan berlari–lari kecil sampai
di bukit Marwa. Dia naik ke atas bukit itu, barangkali dari sana dia melihat
seseorang. Tetapi tidak membuahkan hasil.
Hajar turun dari bukit Marwa untuk
menengok bayinya. Dia mendapati Ismail terus menangis. Tampaknya sang bayi
benar-benar kehausan. Melihat anaknya seperti itu, dengan bingung dia kembali
ke bukit Shafa dan mendaki ke atasnya. Kemudian ke bukit Marwa dan naik ke
atasnya. Hajar bolak–balik antara dua bukit, Shafa dan Marwa, sebanyak tujuh
kali.
Allahu Akbar 3x, walillahilhamdu.
Hadirin dan hadirat yang kami hormati.
Ada sebuah pelajaran penting yang
jarang dikupas dari kejadian ini.
Yaitu kesungguhan Hajar dalam mencari
air. Ia kerahkan segala tenaganya bolak balik dari Shafa dan Marwa. Dia terus
berusaha. Walaupun akhirnya air itu ternyata ada di dekat anaknya sendiri. Ini
memberikan pelajaran kepada kita untuk bersungguh-sungguh dalam menjemput
rezeki, dengan mengerahkan segenap kemampuan yang kita miliki. Karena sejatinya
kita diperintahkan bukan cuma melihat hasil, tapi juga memaksimalkan usaha dan
tenaga.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam amat menghargai
orang-orang yang bekerja keras. Beliau bersabda,
“لَأَنْ يَحْتَطِبَ أَحَدُكُمْ حُزْمَةً عَلَى ظَهْرِهِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ أَحَدًا فَيُعْطِيَهُ أَوْ يَمْنَعَهُ”
“Seorang yang mencari seikat
kayu bakar dan mengusungnya di atas pundak, lebih mulia dibanding orang yang
meminta-minta kepada orang lain, entah ia diberi atau tidak”. HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu.
Beliau juga menerangkan,
“مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ
أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ، وَإِنَّ نَبِيَّ اللهِ دَاوُدَ عَلَيْهِ
السَّلَام كَانَ يَأْكُلُ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ”
“Tidak ada makanan yang lebih
baik daripada apa yang dimakan seseorang dari hasil jerih payahnya sendiri. Dan
Nabi Dawud ‘alaihissalam itu makan dari hasil jerih payahnya sendiri.” HR. Bukhari dari al-Miqdam radhiyallahu’anhu.
Namun, walaupun kita dituntut untuk
berusaha dan bekerja secara maksimal, bukan berarti bahwa kita diperbolehkan
untuk berbuat sebebas-bebasnya. Sehingga tidak lagi memperhatikan batasan halal
dan haram. Berhati-hatilah terhadap barang haram yang masuk ke tubuh kita.
Karena tubuh yang tumbuh dari harta yang haram, tidak ada tempat kembali
untuknya melainkan neraka. Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam mengingatkan,
“لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ أَبَدًا،
النَّارُ أَوْلَى بِه”.
“Tidak akan masuk surga
selamanya, daging yang tumbuh dari harta yang haram. Nerakalah yang pantas
untuk menjadi tempat tinggalnya”. HR.
Tirmidzy dari Ka’ab bin ‘Ujrah radhiyallahu ’anhu dan
dinilai sahih oleh adz-Dzahaby dan al-Albany.
Makanan haram bukan hanya daging
babi, namun daging sapi pun bisa berubah menjadi haram, apabila dibeli dengan
uang hasil korupsi. Minuman haram tidak hanya whisky, namun wedang kopi pun
bisa menjadi haram, apabila dibeli dengan uang hasil kolusi. Maka waspadalah!
Hadirin yang dirahmati Allah…
§ Pelajaran ketiga: Berkorban
untuk Allah ta’ala
Ketika Ismail bertambah besar, hati
Ibrahim ‘alaihissalam tertambat kuat kepada putranya.
Tidak mengherankan karena Ismail hadir di kala usia Nabi Ibrahim semakin senja.
Itulah sebabnya beliau sangat mencintainya. Namun Allah berkehendak untuk
menguji Nabi-Nya dengan ujian yang amat berat.
“فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي
أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانظُرْ مَاذَا
تَرَىٰ . قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا
تُؤْمَرُ . سَتَجِدُنِي إِن شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ”
Artinya: “Tatkala anak itu telah dewasa, (Ibrahim) berkata: “Wahai anakku,
sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka apa pendapatmu tentang
mimpiku itu?!”. Ia menjawab: “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan
(Allah) kepadamu; insyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang
sabar”. QS. Ash Shâffât (37): 102.
Renungkanlah bentuk ujian yang telah
Allah berikan kepada beliau. Bagaimana kira-kira perasaan Ibrahim ‘alaihissalam pada saat itu? Pergulatan seperti
apa yang berkecamuk di dalam batinnya?
Saat itu Ibrahim berpikir tentang
putranya. Apa yang harus beliau katakan, saat beliau hendak membaringkannya di
atas tanah untuk disembelih?
Ibrahim mengambil jalan yang paling
baik, yaitu berkata dengan jujur dan lemah lembut kepada putranya. Ketimbang
menyembelihnya secara paksa.
Lihatlah kepasrahan dan pengorbanan
Ismail beserta ayahnya Ibrahim. Mereka berlomba-lomba untuk mendapatkan cinta
Allah dan kasih sayang-Nya. Walaupun dengan mengorbankan anak tersayang.
Allahu Akbar 2x, walillahilhamdu.
Kaum muslimin dan muslimat yang dimuliakan
Allah.
Sadarkah kita, bahwa saat ini kita
sedang diajari oleh seorang anak dan ayahnya, tentang makna pengorbanan kepada
Allah, dalam segala hal di kehidupan ini?
Kata kurban dalam bahasa Arab berarti
mendekatkan diri. Dalam fiqih Islam dikenal dengan istilah udh-hiyah. Sebagian ulama mengistilahkannya an-nahr sebagaimana yang dimaksud dalam QS
Al-Kautsar (108): 2,
“فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ”
Artinya: “Dirikanlah shalat karena Rabbmu dan berkurbanlah“
Akan tetapi, pengertian kurban bukan
sekadar menyembelih binatang kurban, lalu menyedekahkan dagingnya kepada fakir
miskin. Akan tetapi, secara umum, makna korban meliputi aspek yang lebih luas.
Dalam konteks sejarah, di mana umat
Islam menghadapi berbagai cobaan, makna pengorbanan amat luas dan mendalam.
Sejarah para nabi, misalnya Nabi Muhammad shallallahu’alaihiwasallam dan
para sahabat yang berjuang menegakkan Islam di muka bumi ini memerlukan
pengorbanan. Sikap Nabi dan para sahabat itu ternyata harus dibayar dengan
pengorbanan yang teramat berat yang diderita oleh Umat Islam saat itu. Mereka
disiksa, ditindas, dan sederet tindakan keji lainnya dari kaum kafir Quraisy.
Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam pernah dilempari dengan
batu oleh penduduk Thaif. Abu Lahab dan Abu Jahal memperlakukan beliau dengan
kasar dan kejam. Para sahabat seperti Bilal ditindih dengan batu besar yang
panas di tengah sengatan terik matahari siang. Yasir dibantai dan seorang
ibu yang bernama Sumayyah, ditusuk kemaluannya dengan sebatang tombak.
Tak hanya itu, umat Islam di Mekah
juga diboikot untuk tidak mengadakan transaksi dagang. Akibatnya, betapa lapar
dan menderitanya keluarga Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam saat itu. Hingga beliau sekeluarga terpaksa
memakan kulit kayu, daun-daun kering bahkan kulit-kulit sepatu bekas.
Begitulah potret pengorbanan untuk
membela agama. Lantas apakah yang sudah kita korbankan untuk membela akidah dan
sunnah Nabi kita shallallahu’alaihiwasallam?
Allahu Akbar 3x, walillahilhamdu.
Jamaah Shalat Idul Adha rahimakumullah.
§ Pelajaran keempat:
Urgensi mendidik keluarga
Nabi Ismail ‘alaihissalam tidak akan menjadi anak yang
penyabar, jika tidak mendapat taufik dari Allah ta’ala kemudian
pendidikan dari ibunya. Dan Hajar tidak akan menjadi seorang yang penyabar bila
tidak diberi petunjuk oleh Allah lalu dididik oleh nabiyullah Ibrahim ‘alaihissalam. Sedang nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak akan dapat sabar jika tidak
ditempa oleh Allah subhanahu wa ta’ala melalui
wahyu-Nya.
Keberhasilan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam di dalam mendidik anaknya, bukanlah
pekerjaan ringan, yang bisa didapatkan dalam waktu yang singkat. Hal itu
merupakan pekerjaan berat yang membutuhkan waktu panjang. Nabi Ibrahim secara
terus menerus memberikan contoh peragaan ketaatan seorang hamba kepada Rabbnya
dalam segala hal. Peragaan inilah yang selalu ditangkap dan dihayati oleh
putranya Ismail, sehingga terpatri dalam jiwanya.
Sekarang mari kita tanya diri kita.
Sudahkah kita memberi keteladanan yang baik kepada putra putri kita? Sudahkah
kita mendoakan mereka dalam sujud kita agar menjadi anak-anak yang salih dan
salihah? Sudahkah kita menyelamatkan mereka dari lingkungan yang rusak?
Memang untuk mendapatkan generasi
ideal, memerlukan perhatian dan pengorbanan yang sangat besar. Bahkan harus
diiringi dengan kesabaran dan keikhlasan yang tinggi. Makanya sangat aneh, jika
kita merindukan lahirnya generasi pejuang, sementara perhatian dan pengorbanan
yang diberikan untuk itu masih sangat kurang. Atau mungkin pengorbanan dan
perhatian sudah cukup besar, tapi belum proporsional. Perhatian dan pengorbanan
yang diberikan lebih banyak kepada hal-hal yang bersifat materi, bukan pada
spirit dan rohaninya.
Anak-anak kita perlu mendapatkan
perhatian yang serius dari kita para orang tua, guru dan pemerintah. Jangan
sampai hanya aspek intelektualnya yang diperhatikan, tetapi mental dan
spritualnya memprihatinkan. Jangan kita bangga dengan pendidikan yang hanya
memacu kecerdasan otak, tapi semakin hari akhlaknya semakin rusak dan
perilakunya semakin jauh dari agama.
Kita sangat mendambakan generasi yang
bertauhid dan berkarakter. Berakhlak mulia dan tekun beribadah. Juga anak yang
patuh dan hormat kepada orang tua. Kita mengharapkan generasi yang selalu siap
pakai. Siap menghadapi benturan dan tantangan hidup. Memiliki etos kerja yang
tinggi, bekerja dengan penuh dedikasi, memiliki banyak inisiatif serta siap
berkorban. Sebagaimana contoh yang telah diperagakan oleh sosok Nabi
Ibrahim ‘alaihissalam juga keluarganya, Hajar dan
Ismail ‘alaihissalam.
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala berkenan untuk merealisasikan
cita-cita mulia tersebut. Untuk itu marilah kita berdo’a:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، الرَّحْمَنِ
الرَّحِيمِ، مَالِكِ يَوْمِ الدِّينِ.
اللهم صل على سيدنا محمد وعلى آل
محمد كما صليت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد، اللهم بارك على سيدنا
محمد وعلى آل محمد كما باركت على إبراهيم وعلى آل إبراهيم إنك حميد مجيد.
اللّهُمَّ اغْفِرْ
لِلْمُسْلِمِيْنَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ
الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَاْلأَمْوَاتِ، اللّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا
وَارْحَمْهُمْ كَمَا رَبَّوْنَا صِغَارًا.
اَللَّهُمَّ أَصْلِحْ
أَئِمَّتَنَا، وَوُلاَةَ أُمُوْرِ الْمُسْلِمِيْنَ، وَوَفِّقْهُمْ جَمِيْعًا
لِتَحْكِيْمِ شَرِيْعَتِكَ، وَالْعَمَلِ بِكِتَابِكَ، وَالالْتِزَامِ بِسُنَّةِ
نَبِيِّكَ، بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
اللهم بِعزَّتِكَ أَعِزَّ
الإِسْلاَمَ وَالُمسْلمِينَ، وأذِلَّ الشِّركَ والمشركين.
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ
أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ
إِمَامًا
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا
وَاِنْ لَمْ تَغْفِرْلَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّا مِنَ
الْخَاسِرِيْنَ.
اَللَّهُمَّ تَقَبَّلْ مِنَّا
دُعَائَنَا إِنَّكَ أَنْتَ السَّمِيْعُ الْعَلِيْمُ وَتُبْ عَلَيْنَا اِنَّكَ
اَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيْمُ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا
حَسَنَةً وَفِي اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ
الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ وَسَلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ للهِ
رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
والسلام عليكم ورحمة الله
وبركاتُهُ
@ Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh
Purbalingga, 9 Dzulhijjah 1435 /4 Oktober 2014
Langganan:
Komentar (Atom)
PLAKAT AKRILIK
Plakat akrilik adalah kerajinan modern yang sangat banyak dicari oleh konsumen . Selain proses pembuatannya yang sederhana, plakat jenis i...


